Selasa, 26 Januari 2021

Berita Sukorejo

Berita 1

Orasi Ilmiah Penganugrahan Gelar Kehormatan Dr (Hc) KH. Afifuddin Muhajir Di UIN Walisongo Semarang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat

 

Negara ini menderita oleh deretan episode penjajahan dalam rentang waktu yang panjang setelah mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Setelah proklamasi kemerdekaan, didirakanlah republik dan pemerintahan nasional. Dan untuk pertama kalinya setelah tiga ratus tahun bangsa ini merasakan nikmatnya kemerdekaan. Setelah melewati perbedaan pendapat yang tajam, para pendiri bangsa akhirnya sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar bagi Negara yang baru didirikan.

Saya berpandangan bahwa Pancasila dalam hubungannya dengan syariat berkisar di antara tiga kemungkinan. Pertama, ia tidak bertentangan dengan syariat karena berdasarkan istiqrā’ tidak ditemukan sama sekali ayat maupun hadis yang bertentangan dengan lima silanya. Kedua, ia sesuai dengan syariat karena berdasarkan istiqrā’ juga ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang selaras dengan kelima silanya. Ketiga, ia adalah syariat itu sendiri.

Saya memiliki kesimpulan beberapa poin berikut. Pertama, NKRI yang berdasarkan Pancasila adalah bersifat syar‘iy, yakni sesuai dengan syariat Islam baik dalamnashūshmaupunmaqāshidKedua, Pancasila bukan penghalang (māni‘) untuk menerapkan aturan syariat di negara yang berlandaskan atasnya. Ketiga, Konsekuensi menjadikan Pancasila sebagai dasar negara adalah seluruh undang-undang negara tidak boleh bertentangan dengan salah satu dari sila Pancasila. Keempat, Republik Indonesia adalah negara kesepakatan yang berdiri di atas asas yang mendapatkan kesepakatan.

Sekilas Sejarah Pancasila

Gerakan kemerdekaan Indonesia menunjukkan polarisasi bipolar. Gerakan nasional sekuler yang berdasarkan patriotisme ansih, dan gerakan nasional Islam yang berdasarkan Islam dan patriotisme. Kedua ideologi ini mewarnai sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945.

Ada demarkasi yang jelas antara mereka yang menginginkan negara sekuler dengan mereka yang menginginkan negara Islam. Kekuatan Islam meminta agar Islam dan syariahnya menjadi dasar negara ini. Kekuatan sekuler menolaknya dan meminta sekularisme yang menjadi dasarnya. Itu adalah dua prinsip yang tidak dapat dikumpulkan karena keduanya berlawanan. Perselisihan ini sangat berbahaya. Sebab seandainya tidak menemukan kesepakatan, negara ini tidak akan pernah ada. Masing-masing kelompok bersikeras mewujudkan apa yang menjadi impiannya. Sementara air mata, darah, harta, dan jiwa semua telah dikorbakan.

Bahtiar mengatakan, “Tuntutan ideologis perjuangan

politik untuk sebuah negara Islam pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia hingga setidaknya tahun 1950-an adalah logis dan masuk akal, karena kondisi politik membuka peluang terjadinya persaingan aktif baik bagi kelompok Islam maupun nasionalis. Titik pusat perjuangan Islam adalah bentuk negara dan konstitusinya, karena Islam adalah agama dan sistem politik sekaligus. Oleh karena itu, jika Islam dipaksakan menjadi agama substansial pada masa itu, maka ini berarti Islam hanya terkait dengan nilai-nilai ajarannya, padahal negara yang dibentuk masih mencari wujud dasar negara, maka Islam wajib dipandang dan dipraktikkan pada tataran ideologis dan simbolik”.

Tanggal 1 Juni 1945, hari terakhir sidang pertama, Soekarno menyampaikan pidato yang mengajukan lima prinsip yang disebutnya Pancasila sebagai dasar negara, yaitu (1) kebangsaan, (2) internasionalisme, (3) demokrasi, (4) kesejahteraan sosial, dan

(5) ketuhanan. Soekarno menegaskan, dengan prinsip demokrasi, aturan-aturan Islam mungkin untuk kasi melalui badan perwakilan rakyat. Pidato kompromi Sukarno ini ternyata efektif meredam runcing perselisihan.

Akhirnya, kedua kelompok sepakat setelah memuncaknya dengan kesepakatan bahwa Pancasila lah yang menjadi dasar negara, bukan Islam seperti yang diinginkan oleh kaum Islamis, juga bukan sekularisme seperti yang dicita-citakan oleh kaum sekuler. Pancasila dalam hal ini lebih merupakan kontrak sosial dan kompromi politik daripada sebagai dasar dan falsafah negara. Demikianlah pendapat Sutan Takdir Ali Shahbana. Meski demikian, dia tetap memilih Pancasila karena mampu menyelamatkan rakyat Indonesia di saat krisis. Nasionalis Islam seperti Hamka, Saifuddin Zuhri, dan Muhammad Nasir juga memiliki pandangan yang sama.

Sementara itu, sub-komite beranggotakan delapan orang dibentuk untuk membahas, bersama Soekarno, masalah yang muncul. Panitia Sembilanbelas menyelesaikan Piagam Jakarta dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945. Piagam tersebut mencakup lima prinsip berikut:

1.   Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja.

2. Kemanoesiaan jang adil dan beradab 3. Persatoean Indonesia

4. Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat, kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan/perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia

Sehari setelah kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila dideklarasikan sebagai dasar negara, dan ditempatkan pada pembukaan konstitusinya. Itu setelah penghapusan frasa “dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja.”, sehingga sila pertama berubah menjadi “Ketuhanan Yang Esa”. Alasan penghapusan adalah warning dari umat Kristiani di wilayah timur Indonesia untuk memisahkan diri dan membentuk negara merdeka bila frasa tersebut tidak dihilangkan. Tentu kekuatan Islam berkeberatan, tetapi setelah musyawarah dan istikharah, mereka akhirnya mantap menghapusnya. Mereka menilai ketiadaannya tidak seserius dan seberbahaya disintegrasi negara. Lagi pula, masih menurut mereka,

disintegrasi berarti mempersempit medan dakwah karena tidak ada kebebasan memasuki negara lain untuk kepentingan da‘wah ila Allāh .

Singkatnya, Pancasila melewati tiga tahapan. Pertama, tahap 1 Juni 1945, ketika Soekarno dalam pidatonya mengajukan lima prinsip yang dirumuskannya sendiri. Soekarno menamainya Pancasila. Benarlah pendapat yang menyatakan bahwa Pancasila lahir untuk pertama kalinya pada rentang waktu ini dengan pertimbangan bahwa Soekorno lah yang menamainya Pancasila di sela-sela pidatonya.

Kedua, tahap 22 Juni 1945, ketika Panitia Sembilan menetapkan lima prinsip yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Ketiga, tahap 18 Agustus, di mana disepakati penghapusan frasa “dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja”, dan menambahkan YangMaha Esa sebagai gantinya. Inilah fase terakhir Pancasila. Dengan pertimbangan ini dan dengan melihat bahwa kesepakatan ini tercapai setelah Negara berdiri, benar juga pendapat yang menyatakan bahwa Pancasila lahir pada masa ini (18 Agustus 1945). Adjektiva “keesaan” untuk nomina “ketuhanan” mengungkapkan kehendak sebagian besar penduduk, yakni umat Muhammad ` yang mengimani bahwa Allah  adalah Esa.

Terbetik dalam pikiran bahwa kesepakatan yang kita capai untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara bukanlah alternatif ideal, melainkan degradasi aspirasi dari apa yang diupayakan oleh kedua kelompok. Betul memang, ini adalah penurunan dari langit idealitas ke bumi realitas. Hal seperti ini acapkali terjadi, terutama dalam kehidupan kontemporer kita. Para ahli Fikih menyatakan bahwa di antara syarat hakim adalah memunyai kapasitas berijtihad, yakni menggali hukum langsung dari dalil-dalil terperinci (al-adillat al-tafshīliyyah). Sudah cukup lama umat Islam tidak menemukan hakim yang mencapai level kapasitas ini. Seandainya kita berkomitmen kaku pada syarat ini serta tidak mengabsahkan putusan hakim yang bukan mujtahid, barang pasti permasalahan-permasalahan hukum terbengkalai tanpa putusan dan masyarakat berada dalam krisis.

Kondisi demikian tidak direstui oleh syarī‘ahħanaah  yang toleran, ia tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Allah be“Tuhan tidak membebanijiwa diluarkekuatannya.” Al-Bukhari  meriwayatkan bahwa Rasulullah  bersabda: “Jadi jika saya melarang kalian sesuatu, hindarilah, dan jika saya memerintahkan Anda untuk melakukan sesuatu, lakukan semampu kalian”. Sabdanya lagi, “Tuhan senang bahwa hukum rukhsah (dispensasi) dipilih hamba-Nya, sesenang hukum ‘azīmah yang dipilih.” Bisa dikatakan bahwa kesepakatan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara menjadi hal ideal karena telah menjadi satu-satunya cara menyelesaikan perselisihan dan pertentangan. Tanpa kehadirannya, semua akan merasakan kekecewaan karena harapan tidak berbuah kenyataan. Pada dimensi ini, realitas menjadi idealitas. Sebab mara bahaya harus dihindarkan, mengusir mafsadat diutamakan daripada mengundang maslahat, dan apa yang tidak mungkin diraih seutuhnya jangan sampai ditinggalkan sepenuhnya. (BERSAMBUNG).


Berita II

Kunjungan dengan Santri, Dibuka Kembali

 



Pertemuan walisantri untuk menjenguk putra-putrinya di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah kembali dibuka. Untuk gelombang kedua, yang akan berlangsung Jum’at sampai Senin (29 Januari-1 Pebruari) mendatang dibuka untuk kunjungan kepada santri baru maupun santri lama. ”Walisantri yang berminat, silakan daftar dulu secara online,” tutur Ust Sunardi, sekretaris umum PP Iksass.

Pendaftaran secara online tersebut dilakukan untuk memudahkan pengaturan dan menghindari membludaknya kunjungan. Menurut Ust Sunardi yang juga anggota Tim Pesantren Tangguh, walisantri dipersilakan membuka laman www.pertemuan.pusatiksass.com.  Walisantri diharap melakukan registrasi dulu untuk mendapatkan akun atau yang sudah pernah registrasi langsung login.

Kemudian walisantri mengisi jadwal pertemuannya kapan, dengan siapa, dan memilih shif pertemuan. Pondok Sukorejo untuk hari Jumat menyediakan tiga shif atau sesi pertemuan. Sesi I mulai pukul 08.00-10.00 WIB, sesi II mulai pukul 13.00-14.00 WIB, dan sesi II mulai pukul 15.30-16.30 WIB. Sedangkan pada hari Sabtu, Ahad, dan Senin hanya menyediakan satu sesi, supaya tidak mengganggu aktifitas belajar madrasah yaitu pukul 15.30-16.30 WIB. Kemudian, walisantri dapat menyimpan data tersebut dalam bentuk file pdf dan mencetaknya. Surat keterangan kunjungan tersebut kemudian diberikan ke petugas ketika mau berkunjung di pondok.

Pertemuan walisantri dengan putra-putrinya tersebut memperhatikan protocol kesehatan yang ketat. Mereka diharuskan memakai masker dan mencuci tangan dulu. Walisantri dengan putranya tersebut tidak dapat bersentuhan secara fisik karena mereka berada di bilik yang tertutup yang dipisahkan dengan plastik tebal.

Walisantri yang dapat bertemu dengan anaknya, dibatasi dua orang dan waktunya maksimal 30 menit. Jika walisantri mendapat kesulitan silakan kontak layanan WA Iksass 081391459881, 082330502489, 085259735814. Atau Humas Pesantren 081336262720.


Berita III

Hasil Bahtsul Masail Haul Majemuk (1) AZAN JIHAD MENUAI KONTROVERSI



Kalimat azan yang sudah baku tidak boleh diubah kecuali dengan kalimat yang mendapatkan restu dari Nabi. Mengubah atau mengganti kalimat azan dengan kalimat ”حي على الجهاد” bukan hanya tidak sesuai dengan karakter azan yang ta’abbudiy-tauqīfiy, melainkan juga memiliki efek sosial-politik yang potensial mengganggu stabilitas ketertiban dan keamanan. Berikut hasil selengkapnya.

Deskripsi

Seperti maklum, azan merupakan seruan untuk melaksanakan salat utamanya secara berjamaah. Isi beserta urutannya telah dijelaskan secara rinci oleh hadis. Beberapa waktu yang lalu, viral di media sosial seruan azan yang berbeda dari yang kita kenal.

Azan yang dikumandangkan sekelompok orang tersebut menyelipkan seruan jihad (حي على الجهاد), sebagai ganti seruan salat (حي على الصلاة). Tidak jelas apakah itu dikumandangkan di masjid atau mushalla saat masuk waktu salat maktūbah atau sekadar di tempat dan waktu suka-suka.

Reaksi masyarakat beragam. Ada yang mendukung. Ada yang mengecam, utamanya tokoh-tokoh agama. Polisi pun menangkap pelaku seruan azan jihad tersebut. Pasal yang disangkakan adalah tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan/atau dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 156a KUHP. (detik.com, 4 Desember 2020)

Tidak jelas apa motif dari seruan azan jihad dari sekelompok orang tersebut. Lepas dari itu, kasus ini meninggalkan sejumlah pertanyaan fiqhiyyah, antara lain berikut ini.

 

Pertanyaan:

  1. Apa makna jīhad dan perbedaannya dengan qītal?


Secara bahasa, jihad adalah mashdar dari jāhada yang bermakna "badzl al-majhūd fi nail al-maqshūd," mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai tujuan.

Sedangkan secara syar‘iy, jihad memiliki dua makna, yaitu makna umum dan makna khusus. Makna umum jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk membangun masyarakat islami, menegakkan keadilan, menghilangkan kezaliman dan penindasan, menjaga kemurnian ajaran islam dalam tataran pemahaman dan pengamalan, dan segala bentuk pengorbanan dalam upaya mendapatkan rida Allah.

Makna khusus Jihad, yakni perang fisik (الجهاد القتالي) ada dua macam, yaitu pertama mengerahkan segala kemampuan dalam bentuk perang fisik melawan orang orang kafir (قتال الفئة الكافرة) dalam kerangka melindungi eksistensi/stabilitas negara sebagai sarana mewujudkan dan menjaga tujuan-tujuan syariat (مقاصد الشريعة). Kedua, mengerahkan segala kemampuan dalam bentuk perang fisik melawan kelompok-kelompok yang berupaya merongrong negara dari dalam (قتال الفئة الباغية), meliputi kelompok yang membangkan terhadap pemerintahan yang sah (bughat) dan penyamun, pembegal, dan perampok (quttha'u at thariq).

Jihad dalam makna umum adalah fardhu kifayah baik secara individu maupun kolektif. Sedangkan jihad dalam makna khusus menjadi hak dan wewenang negara, dan pelaksanaanya menunggu komando negara.

Dengan demikian, jihad memiliki makna yang lebih umum daripada qitāl.

لسان العرب (3/135)

الْجِهَادُ مُحَارَبَةُ الأَعداء، وَهُوَ الْمُبَالَغَةُ وَاسْتِفْرَاغُ مَا فِي الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ مِنْ قَوْلٍ أَو فِعْلٍ، وَالْمُرَادُ بِالنِّيَّةِ إِخلاص الْعَمَلِ لِلَّهِ أَي أَنه لَمْ يَبْقَ بَعْدَ فَتْحِ مَكَّةَ هِجْرَةٌ لأَنها قَدْ صَارَتْ دَارَ إِسلام، وإِنما هُوَ الإِخلاص فِي الْجِهَادِ وَقِتَالِ الْكُفَّارِ. وَالْجِهَادُ: الْمُبَالَغَةُ وَاسْتِفْرَاغُ الْوُسْعِ فِي الْحَرْبِ أَو اللِّسَانِ أَو مَا أَطاق مِنْ شَيْءٍ

شرح مختصر خليل للخرشي (3/ 107)

(بَابُ الْجِهَادِ) اعْلَمْ أَنَّ الْجِهَادَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ كَانَ حَرَامًا ثُمَّ أُذِنَ فِيهِ لِمَنْ قَاتَلَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ أُذِنَ فِيهِ مُطْلَقًا فِي غَيْرِ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ ثُمَّ أُذِنَ فِيهِ مُطْلَقًا مِنْ شَرْحِ الْبُخَارِيِّ (قَوْلُهُ أَحْكَامُ الْجِهَادِ) أَيْ الْأَحْكَامُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِالْجِهَادِ اعْلَمْ أَنَّ مَا يَتَعَلَّقَ بِالْجِهَادِ أَحْكَامٌ مُتَعَلِّقَةٌ بِهِ فَالْعَطْفُ مُرَادِفٌ (قَوْلُهُ وَالْمَشَقَّةُ) عَطْفُ تَفْسِيرٍ (قَوْلُهُ قِتَالُ مُسْلِمٍ) ، فَإِنْ قُلْت الْقِتَالُ الْمَذْكُورُ أَصْلُهُ الْمُفَاعَلَةُ فِي اللُّغَةِ فَهَلْ الْمَقْصُودُ هُنَا ذَلِكَ أَوْ لَيْسَ بِمَقْصُودٍ قُلْت لَيْسَ بِمَقْصُودٍ؛ لِأَنَّ الْقِتَالَ قَدْ يُرَادُ بِهِ الْفِعْلُ وَإِلَّا كَانَ حَدُّهُ غَيْرَ مُنْعَكِسٍ بِمَا إذَا قَتَلَهُ كَافِرٌ وَهُوَ نَائِمٌ أَوْ يُقَالُ الْمُرَادُ مِنْ شَأْنِهِ ذَلِكَ وَأَوْ لِلتَّنْوِيعِ لَا لِلشَّكِّ فَلَا تَضُرُّ فِي التَّعْرِيفِ (قَوْلُهُ كَافِرًا) . وَأَمَّا قِتَالُ الْمُحَارِبِ الْمُسْلِمِ فَلَا يُقَالُ لَهُ جِهَادٌ (قَوْلُهُ الْمُحَارَبِ) أَيْ الَّذِي يَقْطَعُ طَرِيقَ الْمُسْلِمِينَ.

حاشية العدوي على كفاية الطالب الرباني (2/ 3)

قَالَ: مَا نَصُّهُ وَالْجِهَادُ مَأْخُوذٌ مِنْ الْجَهْدِ، وَهُوَ التَّعَبُ فَمَعْنَى الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الْمُبَالَغَةُ فِي إتْعَابِ النَّفْسِ، فِي ذَاتِ اللَّهِ، وَإِعْلَاءِ كَلِمَتِهِ الَّتِي جَعَلَهَا اللَّهُ طَرِيقًا إلَى الْجَنَّةِ. اهـ. فَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي (8/ 99)

معني الجهاد : الجهاد في اللغة مصدر جاهد ، أي بذل جهداً في سبيل الوصول إلي غاية ما . والجهاد في اصطلاح الشريعة الإسلامية : بذل الجهد في سبيل إقامة المجتمع الإسلامي ، وأن تكون كلمة الله هي العليا ، وأن تسود شريعة الله العالم كله .

أنواع الجهاد : من التعريف الذي ذكرناه للجهاد ، يتضح أن الجهاد أنواع ، منها : الجهاد بالتعليم ، ونشر الوعي الإسلامي ، وردّ الشبه الفكرية التي تعترض سبيل الإيمان به ، وتفهم حقائقه .

الفقه الإسلامي وأدلته (8/ 2)

وأنسب تعريف للجهاد شرعاً أنه: بذل الوسع والطاقة في قتال الكفار ومدافعتهم بالنفس والمال واللسان.

فالجهاد يكون بالتعليم وتعلم أحكام الإسلام ونشرها بين الناس، وببذل المال، وبالمشاركة في قتال الأعداء إذا أعلن الإمام الجهاد، أخرج أبو داود عن أنس ابن مالك رضي الله عنه عن النبي صلّى الله عليه وسلم قال: «جاهدوا المشركين بأموالكم وأنفسكم وألسنتكم» .

الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي (8/ 99)

معني الجهاد :الجهاد في اللغة مصدر جاهد، أي بذل جهداً في سبيل الوصول إلي غاية ما. والجهاد في اصطلاح الشريعة الإسلامية: بذل الجهد في سبيل إقامة المجتمع الإسلامي، وأن تكون كلمة الله هي العليا، وأن تسود شريعة الله العالم كله

أنواع الجهاد :

من التعريف الذي ذكرناه للجهاد، يتضح أن الجهاد أنواع، منها :الجهاد بالتعليم، ونشر الوعي الإسلامي، وردّ الشبه الفكرية التي تعترض سبيل الإيمان به، وتفهم حقائقه الجهاد ببذل المال لتأمين ما يحتاج إليه المسلمون في إقامة مجتمعهم الإسلامي المنشود.

القتال الدفاعي: وهو الذي يتصدي به المسلمون لمن يريد أن ينال من شأن المسلمين في دينهم.

القتال الهجومي: وهو الذي يبدؤه المسلمون عندما يتجهون بالدعوة الإسلامية إلي الأُمم الأخرى في بلادها، فيصدّهم حكامها عن أن يَبْلُغوا بكلمة الحق سمع الناس .

الحاوى الكبير ـ الماوردى (14/ 235)

وَفِي الْجِهَادِ بِالْمَالِ من أنواع الجهاد تَأْوِيلَانِ : أَحَدُهُمَا : الْإِنْفَاقُ عَلَى نَفْسِهِ بِزَادٍ وَرَاحِلَةٍ .

وَالثَّانِي : بِبَذْلِ الْمَالِ لِمَنْ يُجَاهِدُ إِنْ عَجَزَ عَنِ الْجِهَادِ بِنَفْسِهِ .

 وَفِي الْجِهَادِ بِالنَّفْسِ من أنواع الجهاد تَأْوِيلَانِ : أَحَدُهُمَا : الْخُرُوجُ مَعَ الْمُجَاهِدِينَ .

 وَالثَّانِي : الْقِتَالُ إِذَا حَضَرَ الْوَقْعَةَ : ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ فِيهِ تَأْوِيلَانِ : أَحَدُهُمَا : أَنَّ الْجِهَادَ خَيْرٌ مِنْ تَرْكِهِ .

 وَالثَّانِي : أَنَّ الْخَيْرَ فِي الْجِهَادِ لَا فِي تَرْكِهِ .

الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي (8/ 103)

الفرق بين الحرب والجهاد :

وبهذا الذي ذكرناه يتضح لك الفرق جلياً بين الحرب والجهاد .

فالحرب حالة من حالات الجهاد، أو نوع من أنواعه، وليس كل جهاد حرباً. أي فكلمة الجهاد أعم من كلمة الحرب في المفهوم والمعني

 

  1. Dalam momen momen apa saja azan dianjurkan untuk dikumandangkan?
  2. Apakah boleh mengubah (mengganti, menambah, dan mengurangi) azan, misalnya dikumandangkan sebagai seruan jīhad?

 

Azan adalah dzikir khusus; terdiri dari kalimat-kalimat khusus yang sunnah dikumandangkan sebagai informasi masuknya waktu shalat maktūbah atau sebagai tanda akan dilaksanakannya shalat maktūbah.

Selain untuk tujuan di atas, azan juga sunnah ditalkinkan pada telinga bayi yang baru dilahirkan, dikumandangkan saat musafir akan berangkat, dan saat terjadi kesurupan atau gangguan jin. Tiga hal tersebut memiliki acuan hadits sbb :

سنن الترمذي ت بشار (3/ 149)

عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ.

السنن الكبرى للنسائي (9/ 349)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ، فَإِنَّ الْأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ، فَإِذَا تَغَوَّلَتْ لَكُمُ الْغِيلَانُ فَنَادُوا بِالْأَذَانِ»

سنن الترمذي ت بشار (1/ 280)

عَنْ مَالِكِ بْنِ الحُوَيْرِثِ، قَالَ: قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَابْنُ عَمٍّ لِي، فَقَالَ لَنَا: إِذَا سَافَرْتُمَا فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا، وَلْيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا.

Dengan melihat dimensi azan sebagai dzikir dan doa, maka ia mengalami perluasan dalam penggunaannya, yang inti tujuannya adalah tabarruk (ngalap berkah), menghindari mara bahaya, menentramkan hati, dan menghilangkan resah atau gundah. Sebagai contoh, Syaik Ibrahim Al-Baijuri dalam Hasyiyahnya ’ala Fathil Qarib menyebut beberapa situasi dimana adzan sunnah dilantunkan. Di antaranya dibaca pada telinga orang yg sedang susah, marah, dan pingsan, saat terjadi kebakaran, dan saat bertemunya dua pasukan perang.

Azan merupakan amaliyah ibadah yang berkarakter "ta’abbudi-tauqīfiy,” yaitu ritual yang harus dilaksanakan apa adanya sesuai dengan petunjuk syāri’. Maka tidak boleh kalimat-kalimat azan diubah: diganti, ditambah, atau dikurangi.

Sepeninggal Nabi ` pernah terjadi penggantian kalimat (حي على الصلاة) dengan kalimat (الا صلوا في رحالكم). Peristiwa itu diprotes oleh generasi tābi’īn yang pasti tidak tidak semasa dengan Nabi. Protes tersebut ditanggapi oleh ibnu Abbas dengan penjelasan bahwa penggantian serupa sudah pernah terjadi di masa nabi `, yaitu di saat cuaca sangat dingin, suatu kondisi yang menjadi salah satu alasan (’udzur) untuk meninggalkan shalat jumat atau jamaah.

Munculnya perotes di satu pihak dan adanya penjelasan di lain pihak, menunjukkan bahwa kalimat azan yang sudah baku tidak boleh diubah kecuali dengan kalimat yang mendapatkan restu dari Nabi `.

Mengubah atau mengganti kalimat azan dengan kalimat ”حي على الجهاد” bukan hanya tidak sesuai dengan karakter azan yang ta’abbudiy-tauqīfiy, melainkan juga memiliki efek sosial-politik yang potensial mengganggu stabilitas ketertiban dan keamanan.

تحفة المحتاج بشرح المنهاج (1/ 462)

(وإنما يشرعان للمكتوبة) دون المنذورة وصلاة الجنازة، والنفل وإن شرعت له الجماعة فلا يندبان، بل يكرهان لعدم ورودهما فيها نعم قد يسن الأذان لغير الصلاة كما في آذان المولود، والمهموم، والمصروع، والغضبان ومن ساء خلقه من إنسان، أو بهيمة وعند مزدحم الجيش وعند الحريق قيل وعند إنزال الميت لقبره قياسا على أول خروجه للدنيا لكن رددته في شرح العباب وعند تغول الغيلان أي تمرد الجن لخبر صحيح فيه، وهو، والإقامة خلف المسافر (ويقال في العيد ونحوه) من كل نفل شرعت فيه الجماعة وصلي جماعة ككسوف واستسقاء وتراويح لا جنازة، لأن المشيعين حاضرون غالبا.

صحيح البخاري ـ حسب ترقيم فتح الباري (1/ 163)

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ : أَخْبَرَنَا يَحْيَى ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، قَالَ : حَدَّثَنِي نَافِعٌ قَالَ أَذَّنَ ابْنُ عُمَرَ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ بِضَجْنَانَ ثُمَّ قَالَ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ فَأَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ ، أَوِ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَر.

شرح صحيح مسلم للنووي (19/ 20)

وحدّثني عَلِيّ بْنُ حُجْرٍ السّعْدِيّ. حَدّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ صَاحِبِ الزّيَادِيّ، عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عَبّاسٍ أَنّهُ قَالَ، لِمُؤَذّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: إِذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاّ الله أَشْهَدُ أَنّ مُحَمّداً رَسُولُ اللّهِ، فلاَ تَقُلْ: حَيّ عَلَى الصّلاَةِ. قُلْ: صَلّوا فِي بُيُوتِكُمْ. قَالَ: فَكَأَنّ النّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ. فَقَالَ: أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا؟ قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنّي. إِنّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ. وَإِنّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطّينِ وَالدّحْضِ.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج (5/ 85)

( قَوْلُهُ : كَحَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ مُطْلَقًا ) أَيْ : كَمَا يُكْرَهُ هَذَا فِي الصُّبْحِ وَغَيْرِهِ ( قَوْلُهُ : فَإِنْ جَعَلَهُ ) أَيْ لَفْظَ حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ ( قَوْلُهُ : لَمْ يَصِحَّ أَذَانُهُ ) ، وَالْقِيَاسُ حِينَئِذٍ حُرْمَتُهُ ؛ لِأَنَّهُ بِهِ صَارَ مُتَعَاطِيًا لِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ ع ش

التمهيد لما في الموطأ من المعاني والأسانيد (13/ 272)

وَاسْتَدَلَّ قَوْمٌ عَلَى أَنَّ الْكَلَامَ فِي الْأَذَانِ جَائِزٌ بِهَذَا الْحَدِيثِ) إِذَا كَانَ الْكَلَامُ مِمَّا لَا بُدَّ مِنْهُ وَزَعَمَ أَنَّ قَوْلَهُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ كَانَ فِي نَفْسِ الْأَذَانِ بِأَثَرِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ وَاسْتَدَلُّوا بِمَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُعَاوِيَةَ قَالَ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ شُعَيْبٍ قَالَ أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ قَالَ أَخْبَرَنَا رَجُلٌ مِنْ ثَقِيفٍ أَنَّهُ سَمِعَ مُنَادِيَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي فِي لَيْلَةِ الْمَطَرِ فِي السَّفَرِ يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ فَفِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّ ذَلِكَ كَانَ فِي السَّفَرِ وَأَنَّ قَوْلَهُ كَانَ فِي نَفْسِ الْأَذَانِ وَأَنَّ ذَلِكَ كَانَ فِي مَطَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنَا قَاسِمُ بْنُ أَصْبَغَ قَالَ حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ حَمَّادٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ عن أيوب وعامر الأحوال وَعَبْدِ الْحَمِيدِ صَاحِبِ الزِّيَادِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ فِي يَوْمٍ ذِي رِيحٍ فَلَمَّا بَلَغَ الْمُؤَذِّنُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ أَمَرَهُ أَنْ يُنَادِيَ الصَّلَاةُ فِي الرِّحَالِ قَالَ فَنَظَرَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَقَالَ كَأَنَّكُمْ أَنْكَرْتُمْ هَذَا قَدْ فَعَلَ هَذَا مِنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي

فتح الباري لابن رجب (4/ 225):

وعلى هذه الرواية، فلا يدخل هذا الحديث في هذا الباب، بل هو دليل على ان المؤذن يوم المطر مخير بين ان يقول: ((حي على الصلاة حي على الفلاح))، وبين ان يبدل ذلك بقوله: ((صلوا في رحالكم او بيوتكم))، ويكون ذلك من جملة كلمات الاذان الاصلية في وقت المطر.

وهذا غريب جداً ، اللهم الا ان يحمل على انه امره بتقديم هذه الكلمات على الحيعلتين، وهو بعيد مخالف لقوله: لا تقل: ((حي على الصلاة))، بل ((صلوا في بيوتكم)).

والذي فهمه البخاري: ان هذه الكلمة قالها بعد الحيعلتين او قبلهما، فتكون زيادة كلام في الاذان لمصلحة، وذلك غير مكروه كما سبق ذكره؛ فإن من كره الكلام في اثناء الاذان انما كره ما هو اجنبي منه، ولا مصلحة للاذان فيه.

وكذا فهمه الشافعي؛ فإنه قال في كتابه: إذا كانت ليلة مطيرة، او ذات ريح و ظلمة يستحب ان يقول المؤذن إذا فرغ من اذانه: ((الا صلوا في رحالكم)) فإن قاله في اثناء الاذان بعد الحيعلة فلا بأس.

وكذ قال عامة أصحابه، سوى أبي المعالي؛ فإنه استبعد ذلك اثناء الاذان.

وأماابدال الحيعلتين بقوله: ((الا صلوا في الرحال))، فانه اغرب واغرب.

الشرح الممتع على زاد المستقنع (2/ 68)

وَلاَ يَصِحُّ إِلا مُرَتَّباً مُتَوَاليِاً ................

قوله: «ولا يصحُّ إلا مرتَّباً»، أي: لا يصحُّ الأذان إلا مرتَّباً، والترتيب أن يبدأ بالتكبير، ثم التَّشهُّد، ثم الحيعلة، ثم التَّكبير، ثم التَّوحيد، فلو نَكَّسَ لم يجزئ.

والدَّليل: أنَّ الأذان عبادة وردت على هذه الصِّفة؛ فيجب أنْ تُفعَلَ كما وردت؛ لقول النبيِّ صلّى الله عليه وسلّم: «من عَمِلَ عملاً ليس عليه أمرُنا فهو رَدٌّ» (1).

وقوله: «لا يصحُّ إلا مرتَّباً» يفيد أنَّه لا يصحُّ إلا بهذا اللفظ، فلو قال: «الله أجلُّ» أو «الله أعظمُ» لم يصحَّ؛ لأنَّ هذا تغيير لماهيَّة الأذان، فإذا كان وصفه ـ وهو التَّرتيب ـ لا بُدَّ منه، فكذلك ماهيَّته لا بُدَّ منها، فعُلِمَ من قوله: «لا يصحُّ إلا مرتَّباً» أنه لو لم يأتِ به على الوجه الوارد مثل أن يقول: «الله الأكبر» فإنه لا يصحُّ، ولو قال: «أُقِرُّ أنْ لا إله إلا الله» لا يصحُّ، وكذلك لو قال: «أَقبِلُوا إلى الصَّلاة» بدل «حَيَّ على الصَّلاة» فإنه لا يصحُّ.

المجموع شرح المهذب (3/ 128)

(الخامسة) قال البغوي لو زاد في الأذان ذكرا أو زاد في عدد كلماته لم يبطل أذانه وهذا الذي قاله محمول على ما إذا لم يؤد إلى اشتباهه بغير الأذان على السامعين قال القاضي أبو الطيب وغيره لو قال الله الأكبر بدل الله أكبر صح أذانه كما لو قاله في تكبيرة الإحرام تنعقد صلاته.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج (5/ 116):

وَيُقَالُ إنَّ مُرَادَهُ أَنَّهُ لَا يَقُولُ الْأَوَّلُ لِعَدَمِ إجْزَائِهِ كَمَا عُلِمَ مِنْ أَدِلَّةِ الْأَذَانِ مِنْ أَنَّ كَلِمَاتِهِ تَعَبُّدِيَّةٌ لَا يَجُوزُ تَغْيِيرُهَا

حاشية الجمل على شرح المنهج = فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب (1/ 302)

ويكره أن يقول في الحيعلتين حي على خير العمل، فإن اقتصر عليه لم يصح اهـ من شرح م ر.

وقضية قول حج أنه لو أتي بكلمة منه على وجه يخل بمعناها لم يصح أنه إذا خفف مشددا بحيث لم يخل بمعنى الكلمة لم يصح أذانه وينبغي أنه ليس من ذلك فك الإدغام في أشهد أن لا إله إلا الله؛ لأنه أتي بالأصل ولا إخلال فيه وعليه فيفرق بينه وبين فك الإدغام في التشهد حيث قيل إنه يضر بأن أمر الصلاة أضيق من الأذان فيحافظ فيه على كمال صفاته اهـ ع ش عليه ويجب أن يحترز المؤذن من أغلاط تبطل الأذان بل يكفر متعمد بعضها كمد باء أكبر وهمزته وهمزة أشهد وألف الله والصلاة والفلاح وعدم النطق بهاء الصلاة وغير ذلك ولا تضر زيادة لا تشتبه به ولا الله الأكبر ونحو ذلك اهـ برماوي (قوله: بالترجيع) وهو أن يأتي بالشهادتين أربعا ولا سرا قبل أن يأتي بهما جهرا والمعتمد أنه ليس من الأذان بل هو سنة فيه بدليل أنه لو تركه صح أذانه اهـ ع ش.

المجموع شرح المهذب (3/ 98)

(فَرْعٌ)

يُكْرَهُ أَنْ يُقَالَ فِي الْأَذَانِ حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَوَى الْبَيْهَقِيُّ فِيهِ شَيْئًا مَوْقُوفًا عَلَى ابن عمر وعلي ابن الحسين رضى الله عنهم قَالَ الْبَيْهَقِيُّ لَمْ تَثْبُتْ هَذِهِ اللَّفْظَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحْنُ نَكْرَهُ الزيادة في الاذان والله أعلم

المحلى بالآثار (2/ 194)

وَقَدْ صَحَّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، وَأَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ: أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُولُونَ فِي أَذَانِهِمْ " حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ " وَلَا نَقُولُ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَصِحَّ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَلَا حُجَّةَ فِي أَحَدٍ دُونَهُ - وَلَقَدْ كَانَ يَلْزَمُ مَنْ يَقُولُ فِي مِثْلِ هَذَا عَنْ الصَّاحِبِ: مِثْلُ هَذَا لَا يُقَالُ بِالرَّأْيِ -: أَنْ يَأْخُذَ بِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ فِي هَذَا، فَهُوَ عَنْهُ ثَابِتٌ بِأَصَحِّ إسْنَادٍ.

وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ حَيٍّ: يُقَالُ فِي الْعَتَمَةِ " الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ " وَلَا نَقُولُ بِهَذَا أَيْضًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

 

Berita IV

    Klarifikasi Kiai Azaim terkait Akun Youtube “Suara Istana”




 

Sebaiknya, para pegiat media sosial memiliki sifat kejujuran dan mengedapankan kemaslahatan masyarakat. Kalau membuat karya jangan asal potong pernyataan orang lain yang keluar dari konteks sesungguhnya. Sehingga membuat orang tersebut merasa tidak nyaman.

 

Sejak kemarin, Pengurus Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo ditanyakan beberapa alumni, walisantri, dan simpatisan terkait beredarnya sebuah video diakun youtube “Suara Istana”.  Berikutnya penjelasan K.H.R. Ach. Azaim Ibrahimy terkait hal tersebut:

 

Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

 

Sehubungan dengan unggahan dari akun “Suara Istana” di youtube pada tanggal 17 Desember 2020 dengan judul, “Berita Terkini: Ulama NU dan MUI Jawa Timur Dukung TNI-Polri Bubarkan FPI”. Di beberapa media sosial, unggahan tersebut berjudul, “Masayaallah!!! Akhirnya...!!! Kiai Se-Jawa Nyatakan Sikap Tegas Dukung TNI Polri Basmi FPI dan Ormas Radikal” dan “Masayaallah!!! Parah...!!! Tokoh NU dan MUI Situbondo Minta Polri Sikapi FPI” yang disertai gambar almarhum K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, kami, dan beberapa tokoh lainnya. Unggahan tersebut menimbulkan pertanyaan dan keresahan bagi alumni, wali santri, dan simpatisan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, maka kami menjelaskan:

  1. Unggahan dalam akun “Suara Istana” tersebut tanpa sepengetahuan dan seizin saya. Unggahan tersebut berisi pendapat saya, yang saya sampaikan pada acara pengajian yang diselenggarakan Yayasan Nurul Hayat Jember pada tgl 13 Oktober 2019. Sayangnya, pendapat saya tersebut dipotong dan tidak sesuai dengan konteks dan judul unggahan, “Berita Terkini....Dukung TNI-Polri Bubarkan FPI”. Saya tidak tahu, apakah ini suatu strategi untuk menaikkan rating pembaca akun “Suara Istana” atau tujuan yang lain.
  2. Di dalam unggahan video tersebut juga dinarasikan, seakan-akan Prof. Dr. H. Abu Yasid, MA, LLM (Rektor Universitas Ibrahimy) juga mendukung pembubaran FPI, padahal beliau hanya menghimbau agar kita tetap waspada terhadap hasutan, provokasi, dan ujaran kebencian serta menjaga kondusifitas.
  3. Saya menghimbau kepada seluruh alumni, wali santri, dan simpatisan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo agar tetap waspada kepada beberapa pihak yang berniat mengadu-domba dan memecah belah bangsa.
  4. Saya mengajak, marilah kita selalu berdoa agar tercipta situasi dan kondisi yang kondusif. Semoga tercipta negara yang berkeadilan sehingga tercipta keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan.

Demikian klarifikasi saya, semoga kita tetap mendapat hidayah dan inayah Allah SWT serta dijaga oleh Allah.

 

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

 

Pengasuh Pesantren,

 

 

KHR. Ach. Azaim Ibrahimy


Berita V

  Ngaji Kitab Burdah di Tengah-Tengah Pandemi



Sejak Sabtu kemarin, ribuan santri dan santriwati Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo mengikuti pengajian Kitab Burdah Madih Al-Mubarokah kepada K.H.R. Ach. Azaim Ibrahimy, Pengasuh Pesantren Sukorejo. Pengajian kitab tersebut berlangsung khidmah dan penuh nasihat-nasihat mencerahkan. Pengajian kitab sastra yang memuat pujian-pujian kepada Kanjeng Nabi Muhammad tersebut sengaja dikaji di tengah-tengah pandemic COVID-19.

Karena qosidah burdah tersebut kerap dilantunkan kaum muslimin yang disamping sebagai pujian kepada nabi juga dipercaya sebagai penolak balak. Sehingga diharapkan dengan pengajian kitab tersebut; para santri menjadi lebih memahami kandungan qasidah burdah dan akan meningkatkan kualitas kekhusu’an serta kesehatan mental para santri.

Para santri putra yang berasrama di pusat bisa langsung mengikuti pengajian tersebut di pendopo pengasuh. Sedangkan santriwati di pusat dan di cabang, mengikuti pengajian di mushalla. Begitu pula santri putra di cabang, mengikuti pengajian di mushalla. Mereka mengikuti pengajian via S3 TV dan Radio DBS Fakultas Dakwah.

Dari pantauan Tim Pesantren Tangguh, para santri dan santriwati antusias mengikuti pengajian tersebut. Mereka senang mengikuti pengajian dengan memakai masker. “Saya senang ikut pengajian. Saya berharap orang tua di rumah juga tenang dan senang,” imbuh salah seorang santri asal Lombok.

Walaupun di masa pandemi, kegiatan santri di pondok tetap padat dengan memperhatikan protokol kesehatan. Para santri-santriwati mengisinya dengan mengaji, belajar, beribadah, dan beberapa aktifitas yang berfaedah lainnya. Mereka juga menyelingi waktu luang dengan berolah raga. Karena itu para walisantri diharapkan tenang dalam menjalankan aktifitasnya di rumah masing-masing. “Jangan lupa, mendoakan putra-putrinya di pesantren,” imbuh Ustadz Khairul Anwar, ketua tim Pesantren Tangguh.

0 komentar:

Posting Komentar